KARSINOMA
NASOFARING
Subhiyawati Burhan
A. PENDAHULUAN
Karsinoma
nasofaring merupakan penyakit yang jarang ditemukan yang berasal dari epitel
nasofaring. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel
skuamosa.Meskipun demikian, karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah
kepala dan leher terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir sekitar 60% tumor
ganas kepala dan leher adalah karsinoma nasofaring, yang diikuti oleh keganasan
pada hidung dan sinus paranasalis (18%), laring(16%) dan tumor ganas rongga
mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data
Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring selalu berada dalam lima
besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit. (1) (2)
Diagnosis dini menentukan
prognosis, namun hal ini sulit dilakukan oleh karena letak nasofaring tidak
mudah diperiksa oleh yang bukan ahli sehingga sering kali tumor terlambat
ditemukan dan menyebabkan metastasis ke leher sebagai gejala pertama. (2)
Pada stadium dini, radioterapi
masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan
memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan
terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi. (1)
Untuk dapat berperan dalam
pencegahan, deteksi dini dan rehabiltasi perlu diketahui seluruh aspeknya
antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostik,pemeriksaan serologi,
histopatologi, terapi dan pencegahan serta perawatan paliatif bagi pasien yang
pengobatannya tidak berhasil baik. (2)
B. EPIDEMIOLOGI
Insiden karsinoma
nasofaring kurng dari 1 kasus per 100.000 penduduk dari kebanyakan populasi
kecuali pada Cina bagian selatan dimana tiap tahun dilaporkan insiden lebih
dari 20 kasus per 100.000 penduduk. Populasi penduduk terisolasi di daerah
barat seperti Eskimo dan Greenland juga menunjukkan insiden yang cukup tinggi. Insiden moderat
ditemukan pada Afrika Barat, Israel, Kuwait, Sudan dan sebagian dari Kenya dan
Uganda. Di Indonesia sendiri frekuensi terjadinya karsnoma nasofaring tersebar
merata di hampir tiap daerah. (2) (3)
Jumlah penderita
karsinoma nasofaring meningkat dua kali pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Jumlah kasus meningkat mulai dari umur 20 tahun dan mencapai puncak pada usia
50-60 tahun. Di USA penduduk ras Cina merupakan penderita mayor juga pada
pekerja yang sering terekspos asap, rokok dan bahan kimia. Ada sebuah studi
tentang nutrisi dan diet menunjukkan hubungan antara makan makanan dengan
kandungan garam yang tinggi dengan karsinoma nasofaring. Defisiensi vitamin C
pada usia dini juga dapat menjadi faktor kontributor penyakit ini. Dan
akhirnya, sebuah studi tentang HLA haplotip menyatakan bahwa faktor genetik mempengaruhi pada subpopulasi
di Cina bagian selatan dimana ditemukan peningkatan frekuensi haplotip A-2/
B-Sin-2 pada daerah dengan jumlah kasus tinggi. (3) (4)
C. ANATOMI FISIOLOGI
Nasofaring
merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang
secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung
merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring
melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan
bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre
vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring
terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan
posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan
menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran.
Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang
merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering
terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa,
dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata.
Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. (1)
Di
nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke
lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). (1)
Gambar 1. Anatomi Nasofaring
(dikutip
dari kepustakaan 1)
D. ETIOLOGI
Kaitan
antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab
utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan
tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang
lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan
mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma
nasofaring. (1)
Mediator
di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu:
1. Ikan asin, makanan yang
diawetkan dan nitrosamin.
2. Keadaan
sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zat-zat
yang dianggap karsinogen, seperti :
- benzopyrenen
- benzoanthracene
- gas kimia
- asap industri
- asap kayu
- beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah
nasofaring
6. Profil HLA.
E. PATOGENESIS
Rongga
nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel
skuamosa, epitel torak berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina
propria mukosa sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa terdapat kelenjar
serosa dan musinosa. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal
dari epitel yang melapisi nasofaring. (5)
Deteksi
antigen nuklear virus Epstein Barr dan DNA virus pada karsinoma nasofaringeal
menjelaskan bahwa virus Epstein Barr dapat menginfeksi epitel sel dan
dihubungkan dengan transformasi ke arah keganasan. Salinan genom dari virus ini
dapat ditemukan pada sel dengan lesi preinvasif sehingga hal ini memperkuat
adanya hubungan langsung pada proses transformasi. (4)
F.
HISTOPATOLOGI
Telah
disetujui oleh WHO bahwa terdapat 3 bentuk karsinoma pada nasofaring yaitu
karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, karsinoma tidak berkeratinisasi dan
karsinoma tidak berdiferensiasi. (2)
G. DIAGNOSIS
Gejala
dan tanda
Gejala
karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu gejala nasofaring,
gejala telinga, gejala mata dan saraf serta gejala metastase atau gejala di
leher. (2)
1.
Gejala
telinga
·
Rasa
penuh pada telinga
·
Tinitus
·
Gangguan
pendengaran
2.
Gejala
nasofaring
·
Epistaksis
·
Hidung
tersumbat
3.
Gejala
mata dan saraf
·
Diplopia
·
Gerakan
bola mata terbatas
4.
Gejala
lanjut
·
Limfadenopati
servikal
·
Gejala
akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
·
Gejala
akibat metastase jauh.
Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan
dengan CT-scan kepala dan leher dapat dilakukan untuk diagnostik sehingga pada
tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu sulit untuk ditemukan. (2)
Pemeriksaan
serologis dengan memeriksa IgA anti EA dan IgA anti VCA digunakan untuk
mengetahui adanya infeksi virus Epstein Barr. IgA VCA memiliki sensitifitas
97,5% dan spesifitas 91,8%. IgA anti EA sensitifitasnya 100% namun
spesifitasnya hanya 30,0% sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menentukan prognosis pengobatan. (2)
Diagnosis pasti
ditegakkan dengan biopsi nasofaring yang dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
pada mulut atau pada hidung. (2)
Stadium
Penentuan
stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Contre Cancer)
pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :
T = Tumor,
menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak
tampak tumor
T1 : Tumor
terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor
meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor
meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor
meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul,
menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada
pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat
pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat
pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : Terdapat
pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah
melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase,
menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada
metastase jauh
M1 : Terdapat
metastase jauh.
Berdasarkan
TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M1
Menurut
American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring
diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma
in situ
T1 : Tumor yang
terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat,
tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 :Tumor yang
menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dinding lateral.
T3 : Perluasan
tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang
menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial (atau keduanya). (1)
H. DIAGNOSIS BANDING
1.
Kelainan hiperplastik nasofaring
2.
TB nasofaring
3.
Granuloma nekrotik nasofaring
4.
Angiofibroma nasofaring
5.
Limfadenitis coli
6.
TB kelenjar limfe leher
7.
Limfoma malignum
8.
Kanker lain yang bermetastase pada
kelenjar limfe leher (5)
I.
TATALAKSANA
Stadium
I: radioterapi
Stadium
II&III: kemoterapi
Stadium
IV dengan N <6cm: kemoradiasi
Stadium
IV dengan N >6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi. (2)
1.
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih
memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring.
Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan
atau tanpa kemoterapi.
2.
Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada
karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama
diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.
3.
Operasi
Tindakan operasi pada penderita
karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi
leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih
yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi
merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh
atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara
lain.
4.
Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari
karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma
nasofaring dapat diberikan imunoterapi. (5)
Radioterapi
Radioterapi
adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar
peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan
terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi
tetap merupakan terapi terpenting. (1)
Radiasi pada jaringan dapat
menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan
tubuh baik intra maupun ekstra
seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat
bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai
DNA
3. Perubahan base yang
menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis
lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari
sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan
yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan
hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan
reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini
dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker. (1)
Pada
kongres Radiologi Internasional ke VIII tahun 1953, ditetapkan RAD (Radiation
Absorbed Dose) sebagai banyaknya energi yang di serap per unit jaringan. Saat
ini unit Sistem Internasional ( SI ) dari dosis yang di absorpsi telah diubah
menjadi Gray (Gy) dan satuan yang sering dipakai adalah satuan centi gray (cGy).
1 Gy = 100 rad
1 rad = 1 cGy =
10-2 Gy (1)
Hasil
pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang
responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% -100% dengan
terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons
lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup
penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang
terpenting adalah stadium penyakit. Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup
rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang diberikan terapi radiasi adalah 86%,
59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV. (1)
a. Persiapan /
perencanaan sebelum radioterapi
Sebelum
diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik,
sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga
dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga
keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan
pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak.
Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak
diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup
penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor,
radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok
ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh
kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL. (1)
b. Penentuan
batas-batas lapangan radiasi
Tindakan
ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya
suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening
regional. Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus
disinari :
1.
Seluruh
nasofaring
2.
Seluruh
sfenoid dan basis oksiput
3.
Sinus
kavernosus
4.
Basis
kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan
foramen jugularis lateral.
5.
Setengah
belakang kavum nasi
6.
Sinus
etmoid posterior
7.
1/3
posterior orbit
8.
1/3
posterior sinus maksila
9.
Fossa
pterygoidea
10.
Dinding
lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11.
Kelenjar
retrofaringeal
12.
Kelenjar
servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular. (1)
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau
orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam
lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasartengkorak sudah mencapai
rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa
pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau
orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan
oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati
servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar sub maksila. (1)
Secara garis
besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
·
Batas
atas
: meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
·
Batas
depan : terletak dibelakang bola
mata dan koana
·
Batas
belakang : tepat dibelakang meatus
akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar maka batas
belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba.
- Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago
tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1
cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari
kiri dan kanan penderita. Pada penderita
dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas dapat
dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. Batas
atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas
kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar
supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan,
batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk
tumor primer. (1)
Gambar 2
Dikutip
dari kepustakaan 1)
Gambar 3.
Dikutip
dari kepustakaan 1
c. Sinar untuk
radioterapi
Sinar yang
dipakai untuk radioterapi adalah :
1.
Sinar
Alfa
Sinar alfa ialah
sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri dari proton
dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai
dalam radioterapi.
2.
Sinar
Beta
Sinar beta ialah
sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang mempunyai energi
rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan untuk terapi lesi
yang superfisial.
3.
Sinar
Gamma
Sinar gamma
ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus tubuh. Daya
tembusnya tergantung dari besar energi yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi
energinya atau makin tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin
dalam letak dosis maksimalnya.
d. Radioisotop
1.
Caecium137
! sinar gamma
2.
Cobalt60
! sinar gamma
3.
Radium226
! sinar alfa, beta, gamma.
e. Teknik
Radioterapi
Ada 3 cara utama
pemberian radioterapi, yaitu :
1.
Radiasi
Eksterna / Teleterapi
Sumber
sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh.
Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap
oleh suatu tumor tergantung dari :
a. Besarnya
energi yang dipancarkan oleh sumber energi
b. Jarak antara
sumber energi dan tumor
c. Kepadatan
massa tumor.
Teleterapi
umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 radnper kali, dalam
2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu untuk
pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.
2.
Radiasi
Interna / Brachiterapi
Sumber energi
ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh. Ada
beberapa jenis radiasi interna :
a. Interstitial
Radioisotop
yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau jarum irridium.
b. Intracavitair
Pemberian
radiasi dapat dilakukan dengan :
-
After
loading
Suatu aplikator
kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru
dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.
- Instalasi
Larutan
radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau peritoneum.
3.
Intravena
Larutan
radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan IV akan
diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid. (1)
f. Dosis radiasi
Ada 2 jenis radiasi, yaitu :
1.
Radiasi
Kuratif
Diberikan
kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis jauh.
Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis
total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x
pemberian per minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan
setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan.
2.
Radiasi
Paliatif
Diberikan
untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk
metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk
kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.
Bagian
Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang diberikan 5 x
dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai 4000
cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat
dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan
radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu
radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis
total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional
maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000
cGy.
Di
bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara bertahap
dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB
leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage
dan menggunakan radioisotop Cobalt60.
Di
bagian Radiologi RS. Elisabet Medan, radiasi diberikan dengan
menggunakan radioisotop
Cessium137, mula-mula diberikan dengan dosis rendah
mulai 300 cGy –
6000 cGy dalam waktu 4 atau 5 minggu. (1)
g. Respon
radiasi
Setelah
diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap
radiasi. Respon dinilai dari
pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response :
menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan
kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar
getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran
kelenjar getah bening membesar 25% atau
lebih.
h. Komplikasi
radioterapi
Komplikasi radioterapi dapat
berupa :
1. Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau
beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis - Anoreksi
- Dermatitis
- Eritema
2. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun
pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Gangguan pertumbuhan
- dll
DAFTAR PUSTAKA
1.
|
Asroel H.
Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma nasofaring. Medan: Universitas
Sumatera Utara, Bagian Telinga Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran;
2002.
|
2.
|
Roezin A, Adham M.
Karsinoma nasofaring. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Jakarta: FKUI; 2008. p. 182-187.
|
3.
|
|
4.
|
Paulino AC.
Nasopharyngeal Cancer Medication. [Online].; 2012 [cited 2012 June 18.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/988165-overview.
|
5.
|
Desen W, editor.
Buku Ajar Onkologi Klinis. 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2008.
|