LionQueen Properties. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

demam tifoid


DEMAM TIFOID
Subhiyawati Burhan
PENDAHULUAN
I.                   DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit, yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi..  Demam tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus. Demam tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis. (1)
Gejala biasanya berkembang 1-3 minggu setelah terpapar  dan menunjukkan gejala yang mungkin ringan atau berat. Gejala termasuk demam tinggi, malaise, sakit kepala, konstipasi atau diare, muncul bintik merah pada dada, dan pembesaran limpa dan hati. Carrier yang sehat dapat memperlihatkan gejala penyakit akut. (1)
Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotik. Namun, resistansi terhadap antimikroba telah meluas. (1)
II.                EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid terjadi diseluruh dunia, terutama di Negara berkembang yang memiliki sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika latin, dan pasifik. Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Insidensi demam  tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. (2)





III.             ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C. (3)
Salmonella typhi tergolong dalam famili Enterobacteriaceae, adalah kuman  gram negatif  berbentuk batang, memiliki flagella, tidak membentuk spora, fakultatif anaerobik bergerak aktif. Bakteri ini mempunyai panjang kurang lebih 3 mikron lebar 0,5 mikron. Kuman ini memiliki 3 macam antigen. Antigen somatik O atau antigen somatik berasal dari dinding sel kuman, antigen flagelar (H) berasal dari cambuk kuman dan antigen Vi berupa bahan termolabil yang diduga sebagi pelapis tipis dinding sel kuman. Antigen O merupakan bahan kompleks polisakarida yang penting untuk menentukan virulensi kuman. (3)

IV.             PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam  makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian  ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik), dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotial tubuh terutama hati dan limpa . Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam  sirkulasi darah lagi mengakibakan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. (2)
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu dieksresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung  makrofag  telah teraktivasi dan hiperaktif  maka saat fagositosis kuman  Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan  menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi. (2)
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia  jaringan (S.typhi  intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. (2)
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. (2)
V.                DIAGNOSIS
Penegakan kasus sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secar dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. (2)
Untuk Mendiagnosis klinis demam tifoid cukup sulit. Di area endemik tifoid, demam yang tidak deketahui penyebabnya yang berlangsung lebih dari satu minggu dapat di curigai demam tifoid. Kultur darah dapat dijadikan diagnosis standar. Kultur sumsum tulang lebih sensitif. Kultur darah kurang sensitif dibandingkan dengan  kultur  sumsum  tulang karena jumlah mikroorganisme yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang ditemukan di sumsum tulang. Kultur darah lebih sensitif pada minggu pertama yang dapat menurun dengan  pemberian antibiotik. Kultur tinja ditemukan positif pada 30% kasus dan memiliki sensitivitas tergantung pada jumlah tinja dan lama penyakit. (4)
Penggunaan tes widal masih kontroversial karena sensitivitas, spesifitas dan nilai prediksi yang digunakan sangat bervariasi tergantung letak area geografis. Tes ini mendeteksi aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella enterica serotype typhi. Meskipun begitu, tes widal masih digunakan pada daerah lokal yang telah diketahui cut of point nya. (4)
A.    MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid bervariasi mulai dari yang ringan hingga yang bentuk yang berat seperti syok toksik. Gejala yang ditimbulkan seperti demam tinggi (104oF), keringat banyak, gangguan buang air besar berupa konstipasi pada dewasa dan diare pada anak, malaise, mialgia, batuk kering yang menyerupai bronkhitis, anoreksia, mual, dan pada pada beberapa kasus ditemukan non-bloody diarrhea. Jika demam  lebih darai 5 hari, bintik-bintik merah mungkin ditemukan.
Masa inkubasi pada demam tifoid tanpa komplikasi berkisar 10-14 hari. Malaise dan letargi dapat berlanjut hingga beberapa bulan saat penyakit muncul. Jika tidak di obati, demam tifoid dapat berkembang hingga ke stadium empat dimana tiap stadium berakhir dalam 1 minggu.
Pada minggu pertama, suhu tubuh meningkat secara perlahan-lahan dengan  baradikardi relatif, malaise, nyeri kepala dan batuk. Pada beberapa kasus ditemukan perdarahan dari hidung dan nyeri perut.
Pada minggu kedua demam berkisar 104oF dan denyut jantung yang lambat.  Delirium kadang di temukan.  Bintik merah pada dada bagian bawah dan abdomen  ditemukan pada 30% pasien. Gejala abdominal makin jelas dengan di temukannnya nyeri pada kuadran kanan bawah. Diare dengan frekuensi 6-8 kali per hari, namun konstipasi juga sering ditemukan. Lien dan hepar teraba dan tegang.
Pada minggu ketiga demam, komplikasi mulai muncul seperti perdarahan intestinal, ensefalitis, abses metastase, colesistisis, endokarditis dan osteitis. Sekitar 10-15% demam  tifoid mengalami komplikasi. Perforasi usus terjadi 1-3% dan menjadi peritonitis dan  menyebabkan  kematian jika tidak segera di intervensi bedah.
Pada minggu ke empat demam, pasien yang mengalami delirium menunjukkan gejala dehidrasi. Komplikasi lain termasuk DIC, pneumonia yang sering terjadi pada anak dan  jarang  pada dewasa. Pada kasus yang jarang terjadi seperti granuloma hepar, lien dan sum-sum tulang, abses hepar dan lien, efusi pleura, sindrom fagosit, pseudotumor cerebri, endokarditis hemolitik dan perikarditis. (5)
B.     PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium  untuk membantu menegakkan diagnosis demam  tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan  bakteriologis dengan isolasi dan biakan  kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. (6)
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
            Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau  meningkat, mungkin didapatkan  trombositopenia dan hitung  jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan  bahwa hitung  jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. (6)
           
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
            Diagnosis pasti demam  tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam  biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan  patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. (6)
            Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. (6)
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan  teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan  untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan  media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. (6)
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada  perjalanan  penyakit. Beberapa  peneliti  melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah  dan  rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan  meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan  hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. (6)
Kegagalan dalam  isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan  media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen  yang  tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. (6)
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. (6)
3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
            Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). (6)
3.1       UJI WIDAL
            Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
            Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. (6)
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. (6)
            3.2       TES TUBEX®
            Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat  dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit
            Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

            3.3       METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
            Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
            Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
            3.4       METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
            Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. (6)

            3.5       PEMERIKSAAN DIPSTIK
            Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
           
4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
            Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
A.    Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (6)
VI.             PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih di anut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan, tatalaksana simtomatik dan suportif seperti pemberian cairan oral atau intravena, pemberian antipiretik, nutrisi yang tepat dan transfusi darah bila ada indikasi serta pemberian antimikroba untuk menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. (2)
Lebih dari 90% pasien dapat di berikan tatalaksana dirumah dengan pemberian antibiotik oral, asuhan terpercaya dan cek up medis jika ada komplikasi atau respon terapi yang gagal. Namun, pasien dengan muntah, diare berat dan distensi abdomen harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik parenteral. (7)
a.       Tatalaksana Demam Tifoid tanpa Komplikasi
Strategi pemberian antibiotik pada kasus tifoid tanpa komplikasi dapat dilihat pada tabel berikut
Kerentanan
Terapi optimal
Obat efektif alternatif
Antibiotik
Dosis harian mg/kg
Hari
Antibiotik
Dosis harian mg/kg
Hari
Sensitif
Fluorokuinolon mis. Ofloxacin; ciprofloxacin
15
5-7
Kloramfenikol
Amoxicilin
Cotrimoxazole
50-75
75-100
8-40
14-21
14
14
MDR
Fluorokuinolon
Cefixim

15
15-20
5-7
7-14
Azitromicin
Cefixime
8-10
15-20
7
7-14
Resisten kuinolon
Azitromicin
Ceftriaxon

8-10
75
7
10-14
Cefixime
20
7-14


            Berdasarkan data dari Global Distribution to Salmonella enterica Serotype Typhi tahun 1990-2002, seluruh dunia menjadi area endemik demam tifoid dan pada beberapa area dilaporkan telah terjadi strain MDR dan strain yang resisten asam nalidiksat. Di Indonesia sendiri dilaporkan menjadi daerah endemik namun bukan daerah dengan strain MDR serta strain resisten asam nalidiksat. (4)
Florokuinolon secara luas dianggap optimal dalam pengobatan penderita demam tifoid dewasa. Obat ini relatif murah, baik di toleransi serta lebih cepat dan lebih efektif dibandingkan dengan obat lini pertama seperti kloramfenikol, ampicilin, amoxicilin dan cotrimoxazole. Penetrasi florokuinolon sangat baik di jaringan dan membasmih S.typhi pada stadium intraseluler serta lebih efektif di kandung empedu jika dibandingkan obat lain. Florokuinolon cepat menghasilkan respon terapi, menghilangkan demam dan gejala lain demam tifoid dalam 3-5 hari serta jumlah carier setelah pengobatan yang rendah (7). 

b.      Tatalaksana Demam Tifoid dengan Komplikasi
Jika telah terjadi komplikasi pada demam tifoid maka diberikan pengobatan seperti berikut
Kerentanan
Obat parenteral optimal
Obat alternatif parenteral efektif
Antibiotik
Dosis harian mg/kg
Hari
Antibiotik
Dosis harian mg/kg
Hari
Sensitif
Fluorokuinolon mis.ofloxacin
15
10-14
Kloramfenikol
Amoxicilin
Cotrimoxazole
100
100
8-40
14-21
14
14
MDR
Fluorokuinolon
15
10-14
Ceftriaxone
Cefotaxime

60
80

10-14
10-14
Resisten kuinolon
Ceftriaxone
Cefotaxime
60
80
10-14
10-14
Fluorokuinolone


20
7-14

            Pasien demam  tifoid yang masih dirawat atau  yang  telah  keluar harus dipantau perkembangan komplikasi. Intervensi secara berkala dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Florokuinolon parenteral merupakan antibiotik pilihan untuk infeksi berat. Pasien demam tifoid disertai dengan perubahan status mental yang ditandai dengan delirium, stupor harus segera di evaluasi meningitis dengan memeriksa cairan serebrospinal. Jika hasilnya normal namun dicurigai meningitis tifoid, pasien dewasa maupun anak harus segera diterapi dengan dexametasone dosis tinggi secara intravena dikombinasikan dengan antimikroba. Dexametasone diberikan pada fase awal 3 mg/kg secara i.v infus perlahan selama 30 menit dan setelah enam jam kemudian diberikan 1 mg/kg dan diulang setiap enam jam. Penggunaan hidrokortison pada dosis rendah tidak efektif. Penmberian steroid dosis tinggi dapat diberikan jika hasil kultur darah pasien belum ada dan penyakit memberat. (7)
            Pasien dengan perdarahan saluran cerna butuh perawatan intensif, monitoring dan transfusi darah. Intervensi tidak dapat dilakukan jika terjadi kehilangan darah yang signifikan. Konsultasi dengan bedah di indikasikan jika dicurigai perforasi intestinal. Jika terjadi perforasi maka penanganan bedah harus segera dilakukan tidak lebih dari enam jam. Metronidazole dan gentamicin atau ceftriaxone dapat diberikan sebelum dan setelah pembedahan jika tidak menggunakan fluorokuinolon untuk mencegah lolosnya bakteri melalui luka pada usus ke cavum abdominal. (7)
            Sekitar 5-20% kasus akut dilaporkan menjadi relaps pada demam tifoid yang telah mendapatkan pengobatan yang sempurna. Pada kasus ini terjadi demam terjadi kembali setelah pengobatan antibiotik tuntas. Manifestasi klinis lebih ringan dibandingkan pada awal penyakit. Kultur harus tetap dilakukan dan pengobatan diberikan sesuai dengan standar. Pada kasus relaps harus dipastikan bahwa tidak ada scistosomiasis. (7)

c.       Tatalaksana terhadap Carier
            Seseorang tersangka carier kronik jika tidak menunjukkan gejala namun terus menunjukkan kultur tinja positif terhadap S.typhi setelah sembuh dari gejala akut. Sekitar 1-5% pasien menjadi carier kronik. Jumlah carier lebih banyak pada wanita, usia lebih dari 50 tahun dan pasien dengan colelitiasis atau scistosomiasis. Jika ditemukan colelitiasis atau scistosomiasis maka perlu dilakukan colesistectomi atau pengobatan antiparasit di kombinasikan dengan antibiotik untuk menghilangkan bakteri. Untuk mengeradikasi carier S.typhi, amoxicilin atau ampicilin (100 mg/kg/hari) ditambah dengan probenecid (Benemid®)(1 gr oral atau 23 mg /kg untuk anak) atau Cotrimoxazole (160-800 mg 2kali sehari)  diberikan selama enam minggu. Sekitar 60% hasil kultur menjadi negatif. Sekitar 80% carier kronik sukses dengan pemberian 750 mg ciprofloxacin 2 kali sehari selama 28 hari atau 400 mg norfloxacin. Obat kuinolon lain mungkin memberikan hasil yang serupa. (7)
            Carier tidak boleh dilibatkan dalam kegiatan mengolah dan meyajikan makanan juga pasien yang baru sembuh dan orang yang menunujukkan gejala demam  tifoid. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan, pekerjaan yang menyentuh makanan tidak bolh dilakukan hingga hasil kultur tinja negatif selama tiga kali pemeriksaan. (7)



















LAPORAN  KASUS

AIDENTITAS PASIEN
Nama                  : A
Jenis Kelamin     : laki-laki
Umur                  : 21 tahun
Alamat               : jalan Tamangapa Raya 3
Tgl periksa          : 29 Maret 2012
Nama RS            : RS Wahidin Sudirohusodo
Pekerjaan            : Mahasiswa

B.  ANAMNESIS
Keluhan  Utama : Demam
Anamnesis  tambahan :
Dialami sejak ±10  hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dialami  terus menerus, dirasakan meninggi saat sore dan malam hari. Riwayat perdarahan pada gusi dan hidung disangkal. Saat  ini OSI tidak menggigil namun pernah menggigil , nyeri kepala disangkal.
OSI tidak mengalami batuk maupun sesak
 OSI merasa mual namun tidak muntah, tidak nyeri ulu hati, tidak nyeri perut serta nafsu makan menurun
BAB: biasa kuning
BAK: lancar kuning
RPS: berobat sebelumnya di puskesmas 2 hari sebelum masuk rumah sakit diberikan obat tablet lalu berkeringat banyak setelah minum obat tersebut.. Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria disangkal. Riwayat menderita penyakit kuning disangkal. Riwayat tifoid disangkal. Riwayat malaria disangkal.

C.  PEMERIKSAAN  FISIK
-          Keadaan  umum : sakit  sedang/gizi  baik/composmentis
BB = 49 kg, TB = 150 cm, IMT = 21,7 kg/m2
-          Tanda  vital : Tekanan  darah           : 100/70 mmHg (pengukuran posisi berbaring)
   Nadi                         : 72 x/menit (kuat angkat)
   Pernapasan               : 20 x/menit
   Suhu  tubuh              : 36,2oC à (pengukuran axila, sebelumnya telah minum obat tablet dari puskesmas)
-          Kepala :        ekspresi : biasa                                    deformitas : (-)
muka : simetris kiri=kanan                 
rambut : hitam, lurus, sulit dicabut
-          Mata :           eksoptalmus/enoptalmus : (-)  kornea : jernih
Tekanan bola mata : tidak diperiksa
Kelopak mata : dalam batas normal
Konjungtiva : anemis (-)         kornea : jernih
Sklera : ikterus (-)                    pupil : isokor
-          Hidung :       Perdarahan (-)
Secret (-)
-           Telinga :      Tophi (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus(-)
Pendengaran : normal
-          Mulut :         Bibir : sianosis (-)
                     Gigi geligi : karies (-)
                     Gusi : perdarahan (-)
                     Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
                     Farings : hiperemis (-)
                     Lidah : kotor (-)         
-          Leher :          KGB : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak tampak
DVS : R-2 cmH2O
Pembuluh darah : dalam batas normal
Kaku kuduk (-)
Tumor (-)
-          Paru
Inspeksi :         simetris kiri = kanan
Palpasi :           fremitus raba : simetris kiri = kanan
Nyeri tekan (-)
Perkusi :          paru kiri : sonor
                              Paru kanan : sonor
                              Batas paru-hepar : ICS VI anterior dextra
                              Batas paru belakang kanan : ICS XI
                              Batas paru belakang kiri : ICS X
Auskultasi :     bunyi pernapasan : bronchovesiculer
                              Bunyi tambahan : rh - / -  wh -/-
-          Jantung
Inspeksi :         IC tidak nampak  
Palpasi :           IC tidak teraba
Perkusi :          pekak (+)
batas kanan jantung linea sternalis dextra
batas kiri jantung linea midclavicularis sinistra
auskultasi :      BJ I / II murni, regular
                                    BT murmur (-) gallop (-)
-          Abdomen
Inspeksi :         datar, ikut gerak napas
Auskultasi :     peristaltik (+), kesan normal
Palpasi :           MT (-) NT (-), hepar /       limpa tidak teraba
Perkusi :          timpani (+)
-          Alat kelamin :      d.b.n.
-          Ekstremitas :        edema - / -

D. DIAGNOSA
            Dari  hasil  anamnesa, pemeriksaan  fisik, dan  penunjang yang telah  dilakukadapat  ditegakkadiagnosa  pada  pasien  ini  adalah  Demam tifoid.

E. TATALAKSANA
-    Diet biasa
-    IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
-    Ciprofloxacin 500 mg 2x1
-    Paracetamol 500 mg 3x1
-    Banyak minum

F.  PEMERIKSAAN PENUNJANG
-                Hasil lab darah rutin (28/3/2012)
HEMATOLOGI
HASIL
NILAI RUJUKAN
UNIT
WBC
6,9
4.00 – 10.0
[103/uL]
RBC
3,64
4.00 – 6.00
[106/uL]
HGB
11,1
12.0 – 16.0
[g/dL]
HCT
31,9
37.0 – 48.0
[%]
PLT
59
150 – 400
[103/uL]
MCV
87,6
80.0 – 97.0
[fL]
MCH
30,5
26.5 – 33.5
9[pg]
MCHC
34,8
31.5 – 35.0
[g/dL]
-          Hasil lab kimia darah (29/3/2012)
HEMATOLOGI
HASIL
NILAI RUJUKAN
UNIT
SGOT
46
<38
u/L
SGPT
27
<41
u/L
GDS
113
< 146
Mg/dl
Natrium
129
136-145
Mmol/dl
Kalium
Klorida
4,7
109
3,6-6,1
97-111
Mmol/dl
Mmol/dl

-          Tes widal (29/03/2012)
HEMATOLOGI
HASIL
NILAI RUJUKAN
UNIT
Salmonella typhi
H 1/320
Negatif

Salmonella part A
OA 1/320
Negatif

Salmonella part B
OB 1/320
Negatif

Salmonella part C
-
Negatif


-          Hasil lab 30/03/2012)
HEMATOLOGI
HASIL
NILAI RUJUKAN
UNIT
Dengue Ig-G
Negatif
Negatif

Dengue Ig-M
Negatif
negatif

-          Hasil lab darah rutin 31/03/2012
HEMATOLOGI
HASIL
NILAI RUJUKAN
UNIT
WBC
5,9
4.00 – 10.0
[103/uL]
RBC
3,22
4.00 – 6.00
[106/uL]
HGB
9,8
12.0 – 16.0
[g/dL]
HCT
29,1
37.0 – 48.0
[%]
PLT
65
150 – 400
[103/uL]
MCV
90,4
80.0 – 97.0
[fL]
MCH
30,4
26.5 – 33.5
9[pg]
MCHC
33,7
31.5 – 35.0
[g/dL]

-          Hasil lab darah rutin 02/04/2012
HEMATOLOGI
HASIL
NILAI RUJUKAN
UNIT
WBC
5,29
4.00 – 10.0
[103/uL]
RBC
3,12
4.00 – 6.00
[106/uL]
HGB
9,2
12.0 – 16.0
[g/dL]
HCT
26,7
37.0 – 48.0
[%]
PLT
96
150 – 400
[103/uL]
MCV
92,0
80.0 – 97.0
[fL]
MCH
29,5
26.5 – 33.5
9[pg]
MCHC
32,1
31.5 – 35.0
[g/dL]

-          Hasil lab DDR 02/04/2012
HEMATOLOGI
HASIL
NILAI RUJUKAN
UNIT
Mikroskopik  DDR
Negatif
negatif
-

FOLLOW UP
Tanggal
Perjalanan penyakit
Instruksi dokter
29/3/2012

TD : 100/70
N : 72 x/m
P : 20 x/m
S : 36,20C
KU : demam
AT : Dialami sejak ±10  hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tidak terus menerus, dirasakan meninggi saat sore dan malam hari. Namun saat ini demam dirasakan sepanjang hari. Menggigil (-), riwayat menggigil (+), nyeri kepala (-).
Batuk (-), lendir (-), sesak(-)
Mual(+), muntah (-), nyeri ulu hati (-), nyeri perut sebelah kiri bawah(+)
BAB: biasa kuning
BAK: lancar kuning
Pemeriksaan fisis : O/ SS/GC/CM
Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-)
Leher : MT (-), NT (-), DVS -2 cmH2O
Thorax :      Bp: bronchovesiculer,
                    BT : Rh -/-, Wh -/-
Cor      :       BJ I/II murni reguler, BT (-)
Abdomen :   peristaltik (+) kesan normal
Extremitas : edema (-)
A/  demem tifoid
R/
-       Diet biasa
-       IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
-       Ciprofloxacin 500 mg 2x1
-       Paracetamol 500 mg 3x1
-       Banyak minum



Anjuran :
Lab: DDR, Ig-G,Ig-M DHF
Kontrol Darah Rutin per hari











30/03/2012
TD : 90/50
N : 88 x/m
P : 20 x/m
S : 39,10C
S: demam (+) Menggigil (-),nyeri kepala (-).
Batuk (-), lendir (-), sesak(-)
Mual(+), muntah (-), nyeri ulu hati (-)
BAB: biasa kuning
BAK: lancar kuning
O: Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-)
Leher : MT (-), NT (-), DVS -2 cmH2O
Thorax :      Bp: bronchovesiculer,
                    BT : Rh -/-, Wh -/-
Cor      :       BJ I/II murni reguler, BT (-)
Abdomen :   peristaltik (+) kesan normal
Extremitas : edema (-)
A:  demam tifoid

R/
-    Diet biasa
-    IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
-    Ciprofloxacin 500 mg 2x1
-    Paracetamol 500 mg 3x1
-    Banyak minum
Anjuran: kontrol DR/hari
31/03/2012
TD : 120/60
N : 88 x/m
P : 20 x/m
S : 36,80C
S: demam (-) Menggigil (-),nyeri kepala (-).
Batuk (-), lendir (-), sesak(-)
Mual(+), muntah (-), nyeri ulu hati (-)
BAB: biasa kuning
BAK: lancar kuning
O: Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-)
Leher : MT (-), NT (-), DVS -2 cmH2O
Thorax :      Bp: bronchovesiculer,
                    BT : Rh -/-, Wh -/-
Cor      :       BJ I/II murni reguler, BT (-)
Abdomen :   peristaltik (+) kesan normal
Extremitas : edema (-)
A:  demam tifoid

R/
-    Diet biasa
-    IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
-    Ciprofloxacin 500 mg 2x1
-    Paracetamol 500 mg 3x1
-    Banyak minum
Anjuran :kontrol DR/hari
01/04/2012
TD : 120/60
N : 88 x/m
P : 20 x/m
S : 36,80C
S: demam (-) Menggigil (-),nyeri kepala (-).
Batuk (-), lendir (-), sesak(-)
Mual(+), muntah (-), nyeri ulu hati (-)
BAB: biasa kuning
BAK: lancar kuning
O: Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-)
Leher : MT (-), NT (-), DVS -2 cmH2O
Thorax :      Bp: bronchovesiculer,
                    BT : Rh -/-, Wh -/-
Cor      :       BJ I/II murni reguler, BT (-)
Abdomen :   peristaltik (+) kesan normal
Extremitas : edema (-)
A:  demam tifoid

R/
-    Diet biasa
-    IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
-    Ciprofloxacin 500 mg 2x1
-    Paracetamol 500 mg 3x1
-    Banyak minum
Anjuran :kontrol darah rutin/hari
02/04/2012
TD : 100/60
N : 80 x/m
P : 20 x/m
S : 36,80C
KU: baik
S: demam (-) Menggigil (-),nyeri kepala (-).
Batuk (-), lendir (-), sesak(-)
Mual(+), muntah (-), nyeri ulu hati (-)
BAB: biasa kuning
BAK: lancar kuning
O: Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosis (-)
Leher : MT (-), NT (-), DVS -2 cmH2O
Thorax :      Bp: bronchovesiculer,
                    BT : Rh -/-, Wh -/-
Cor      :       BJ I/II murni reguler, BT (-)
Abdomen :   peristaltik (+) kesan normal
Extremitas : edema (-)
A:  demam tifoid

R/
-    Diet biasa
-    IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
-    Ciprofloxacin 500 mg 2x1
-    Banyak minum



RESUME
Seorang laki-laki, mahasiswa, 21 tahun datang dengan keluhan demam. Dialami sejak ±10  hari sebelum masuk rumah sakit. Demam terus menerus, dirasakan meninggi saat sore dan malam hari. Pasien pernah mengalami menggigil. Riwayat perdarahan pada gusi dan hidung disangkal .Batuk tidak ada, sesak tidak ada. Pasien merasa kadang-kadang mual namun tidak muntah dan tidak merasa nyeri ulu hati, tidak nyeri perut, pasien juga mengeluh nafsu makan menurun. BAB: biasa kuning. BAK: lancar kuning. RPS: berobat sebelumnya di puskesmas 2 hari sebelum masuk rumah sakit diberikan obat tablet kemudian berkeringat banyak.. Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria disangkal. Riwayat menderita penyakit kuning disangkal. Riwayat tifoid disangkal. Riwayat malaria disangkal.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan SP: SS/GC/CM. Tanda vital TD : 100/70, N : 72 x/m, P:20 x/m, S:36,20C. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan bunyi pernapasan bronchovesiculer, tidak ada bunyi tambahan  pada kedua paru. Pada pemeriksaan abdomen, jantung dalam batas normal dan pada pemeriksaan rumple leede positif.
Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan hasil Salmonella typhi H 1/320, Salmonella part A OA 1/320, Salmonella part B OB 1/320.
  Dari  hasil  anamnesa, pemeriksaan  fisik, dan  penunjang yang telah  dilakukan  dapat  ditegakkan  diagnosa  pada  pasien  ini  adalah  Demam tifoid.
DISKUSI

            Keluhan utama pada pasien ini adalah demam. Demam dapat disebabkan oleh infeksi, toksemia, keganasan ataupun karena pengaruh obat. Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau mekanisme imunologi yang tidak berasal dari infeksi. Pirogen mempengaruhi penglepasan asam arakhidonat di hipotalamus serta meningkatkan sistesis PGE2 yang dapat menyebabkan pireksia. (8)
            Demam memiliki berbagai tipe. Pada kasus di atas demam dirasakan meninggi pada malam  hari dan menurun pada siang hari. Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami demam remitten (8)
            Pada kasus di atas, pasien mengalami mual. Mual dapat disebabkan oleh impuls iritatif yang datang  pada traktus gastrointestinal, impuls yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion sicness, atau impuls dari korteks serebri untuk mencetuskan muntah. Pada halsil anamnesis pasien memiliki riwayat nyeri perut kiri bawah sehingga kemungkinan salah satu penyebab mualnya adalah rangsangan iritatif pada traktus gastrointestinalnya. (9)
            Pada pemeriksaan darah rutin di dapatkan kadar WBC normal. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. (6)
            Pada demam tifoid dapat terjadi perubahan hematologi yang signifikan dimana terjadi aenemia, leukopenia, eosinopenia, trombositopeni dan DIC subklinis. Sumsum tulang pada penderita menunjukkan maturasi mieloid terhambat, penurunan jumlah eritroblast dan megakariosit dengan peningkatan fagositosis oleh sel histiosit. Pada kasus di atas terjadi anemia pada pemeriksaan darah kedua dimana jumlah hemoglobin turun dari 11,1 gr/dl menjadi 9,8 gr.dl, nilai trombosit sangan menurun hingga 59.000 u/L, nilai leukosit masih dalam rentang normala namun pada pemeriksaan laboratorium ditemuan penurunan jumlah leukosit. Berdasarakan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan darah rutin ini maka perlu di anjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kofirmasi ADT. (10)  
            Pada pemeriksaan Widal test ditemukan tes positif. Namun hasil positif pada tes ini tidak dapat dijadikan patokan dalam mendiagnosis demam tifoid berhubung belum diketahuinya Cut off point di tempat pasien tinggal. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam  tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam  tifoid (penanda infeksi).Untuk diagnostik pasti penyakit ini perlu di lakukan tubex test dimana tes ini cukup sederhana dan dapat digunakan umumnya pada negara berkembang. (6)
Penderita pada kasus ini diberikan tatalaksana diet biasa, IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Ciprofloxacin 500 mg 2x1, Paracetamol 500 mg 3x1 sertadi anjurkan banyak minum. Pemilihan antibiotik ciprofloxacin di dasarkan atas kriteria WHO dimana pemberian antibiotik golongan  fluorokuinolon misalnya ciprofloxacin diberikan pada daerah yang masih sensitif terhadap fluorokuinolon. (7)






















 

DAFTAR PUSTAKA

(11)
x
1.
World Health Organization. [Online].; 2012 [cited 2012 May 8. Available from: http://www.who.int/topics/typhoid_fever/en/.
2.
Widodo D. DEMAM TIFOID. In Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 1752-1757.
3.
Nugroho H. NILAI DIAGNOSTIK TYPHOID DIPSTICK ASSAY PADA DEMAM TIFOID. Pendidikan Program Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam. Semarang: Universitas Diponegoro, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran; 1999.
4.
Parry CM, Hien TT, Doughan G, Farrar JD. TYPHOID FEVER. New England Journal of Medicine. 2002 November; 347(20).
5.
Bhutta ZA, Khan MI, Soofi SB, Ochiai RL. New Advances in Typhoid Fever. In Curtis N, Finn A, Pollard AJ, editors. Hot Topics in Infection and Immunity in Children VII. NewYork: Springer; 2011. p. 17-35.
6.
Prasetyo RV, I. Pediatric.com. [Online]. [cited 2012 May 10. Available from: www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.doc.
7.
Background document:The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever Geneva: WHO; 2003.
8.
Nelwan RHH. Demam: Tipe dan Pendekatan. In Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 1697-1706.
9.
Guyton AC, Hall EJ. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Rachman LY, editor. Jakarta: EGC; 2007.
10.
Khosla SN AASUKA. PubMed. [Online].; 1995 [cited 2012 May 20. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7502322.
11.
WHO. World Health Organization. [Online].; 2012 [cited 2012 May 12. Available from: http://www.who.int/topic/typhoid_fever/en/.
x


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

1...2...3... smile

Labels

Labels

Labels