ANEMIA HEMOLITIK
Subhiyawati Burhan
PENDAHULUAN
Anemia ialah berkurangnya jumlah
eritrosit, konsentrasi hemoglobin atau kadar hematokrit dalam darah tepi
dibawah nilai-nilai normal untuk umur dan kelamin penderita sehingga kemampuan
darah untuk memberikan oksigen ke jaringan berkurang.1
Anemia secara fungsional didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carryng capacity). Anemia hanyalah kumpulan gejala yang
disebabkan oleh berbagai penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh
gangguan pembentukaan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar
dari tubuh (perdarahan), dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya.2
DEFENISI
Anemia
hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan penghancuran sel darah
merah (eritrosit) lebih besar dari pada
normal. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur
eritrosit 100-120 hari). Pada anemia hemolitik keadaan anemi terjadi karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan
dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit. Untuk mengatasi kebutuhan
tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang sehingga
produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari
120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemi. Namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi
keadaan tersebut maka akan terjadi anemi.1,3,4
Penghancuran
Sel darah merah dalam sirkulasi dikenal dengan hemolisis yang dapat disebabkan
karena gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek umurnya
(instrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran eritrosit.5
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu:
1. Golongan
dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri. Umumnya
peneyebab hemiolisis ini adalah kelainan bawaan (kongenital).
2. Golongan
dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya penyebabnya merupakan faktor
yang di dapat (acquired).3
Gangguan
intrakorpuskular (kongenital)
Kelainan
ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme dalam eritrosit itu
sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1.
Gangguan
pada struktur dinding eritrosit
Gangguan pada struktur didnding eritrosit terbagi menjadi:
a. Sferositosis
Kelainan kongenital ini sering terjadi
pada orang Eropa Barat. Pada penyakit ini umur eritrosit lebih pendek, kecil,
bundar dan resistensinya terhadap NaCl hipotonis menjadi rendah. Limpa membesar
dan sering terjadi ikterus.jumlah retikulosit menjadi meningkat. Hemolisis
diduga disebabkan karena kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia
lebih menyolok dibanding ikterus. Kelainan radiologis ditemukan pada anak yang
telah lama menderita penyakit ini. 40-80% penderita sferositosis ditemukan
kolelitiasis.
b. Ovalositosis
(eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% eritrositnya
berbentuk oval. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum Mendel.
Hemolisis tidak seberat sferositosis. Splenektomi biasanya dapat mengurangi
hemolisis.
c. A-beta
lipoproteinemia
Pada penyakit ini terjadi kelainan
bentuk eritrosit. Diduga kelainan bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi
lemak pada dinding sel.
d. Gangguan
pembentukan nukleotida
Kelainan ini menyebabkan dinding
eritrosit mudah pecah, misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.
2.
Gangguan
enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit.
Setiap
gangguan metabolisme dalam eritrosit akan menyebabkan umur erotrosit menjadi
pendek dan timbul anemia hemolitik.
a. Defisiensi
glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase
(G-6PD)
Defisiensi G-6PD ditemukan pada berbagai bangsa di dunia. Kekurangan
enzim ini menyebabkan glutation tidak tereduksi. Glutation dalam keadaan
tereduksi diduga penting untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi,
terutama obat-obatan. Penyakit ini diturunkan secara dominan melalui kromosom
X. Proses hemolitik dapat timbul akibat atau pada:
·
Obat-obatan. (asetosal, piramidon,
sulfa, obat anti malaria, dll)
·
Memakan kacang babi
·
Bayi baru lahir.
b. Defisiensi
glutation reduktase
Kadang disertai trombopenia dan leukopenia.
c. Defisiensi
glutation
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.
d. Defisiensi
piruvat kinase
Pada bentuk homozigot terjadi lebih berat. Khasnya terjadi
peninggian kadar 2,3 difosfogliserat.
e. Defisiensi
Triose Phosphate Isomerase
Gejala mirip dengan sferositosis, tetapi tidak terdapat
fragilitas osmotik dan hasil darah tepi tidak ditemukan sferositosis. Pada
keadaan homozigot terjadi lebih berat dan bayi akan meninggal di tahun pertama
kehidupannya.
f. Defisiensi
Difosfogliserat Mutase
g. Defisiensi
heksokinase
h. Defisiensi
gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
3.
Hemoglobinopatia
Hemoglobin orang dewasa normal terdiri
dari HbA yang merupakan 98% dari seluruh hemoglobinnya. HbA2 yang tidak lebih
dari 2% dan HbF yang tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir HbF merupakan
bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudianntrasi HbF akan menurun,
sehingga pada umur 1 tahun telah mencapai keadaan normal. Terdapat 2 golongan
besar gangguan pembentukan hemoglobin yaitu:
a. Gangguan
struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal) misalnya HbS, HbE dan
lain-lain.
Kelainan hemoglobin ini ditentukan oleh
adanya kelainan genetik yang dapat mengenai HbA, HbA2 atau HbF. Pada penyakit
ini terjadi pergantian asam amino dalam rantai polipeptida pada tempat-tempat
tertentu atau tidak adanya asam amino atau beberapa asam amino pada
tempat-tempat tersebut. Kelainan yang paling sering terjadi pada rantai β dan
δ.
b. Gangguan
jumlah (salah satu atau beberapa rantai globin misalnya talasemia.
Talasemia merupakan penyakit anemia
hemolitik yang herediter yang diturunkan secara resesif . Di Indonesia,
talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik
dengan penyebab intrekorpuskuler.
Secara klinis talasemia dibagi menjadi
2 golongan yaitu talasemia mayor (homozigot) yang memberikan gejala klinis yang
khas dan talasemia minor yang biasanya tidak memberi gejala.
Gangguan
ekstrakorpuskuler (acquired)
Gangguan ini biasanya didapat yang dapat disebabkan oleh:
1. Obat-obatan,
racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin,air), toksin (hemolisin)
Streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
2. Hipersplenisme.
Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan penghancuran erotrosit.
3. Anemia
oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya reaksi
antigen-antibodi seperti:
a. Antagonisme
ABO atau inkompatibilitas golongan darah lain seperti Rhesus dan MN
b. Alergen
atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tapi dalam tubuh melekat pada permukaan
eritrosityang merangsang pembuatan anti yang kemudian menimbulkan reaksi
antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.
c. Hemolisis
akibat proses autoimun.3
EPIDEMIOLOGI
Sferositosis herediter merupakan anemia
hemolitik yang sangat berpengaruh di Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000
individu. Sferositosis mengenai demua jenis etnis namun pada ras non kaukasian
tidak diketahui. Sferositosis herediter paling sering diturunkan secara dominan
autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis herediter mungkin disebabkan
karena mutasi atau anomali sitogenik.6
Di Amerika, prevalensi eliptospirosis
kira-kira 3-5 per 10.000. eliptospirosis paling sering pada orang Afrika dan
Amerika. Eliptospirosis sering terjadi pada daerah dengan endemik malaria. Di
Afrika ppada area ekuator, eliptospirosis terjadi sekitar 20,6%. Bentuk lain
dari penyakit ini ditemukan pada Asia Tenggara yang ditemukan sekitar 30% darai
populasi. Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal.6
Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh
dunia. Frekuensi tertinggi terjadi pada daerah tropis dan subtropis. Telah
dilaporkan lebih dari 350 varian. Ada banyak variasi pada expresi klinis pada
varian enzim.6
Talasemia merupakan sindroma kelainan
darah herediter yang paling sering terjadi di dunia, sanagt umum terjadi di
sepanjang sabuk talasemia yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis
malaria. Gen talasemia sangat luas tersebar dan kelainan ini diyakini merupakan
penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Di beberapa Asia Tenggara
sebanyak 40% dari populasi memiliki satu atau lebih gen talasemia. Daerah
geografi dimana talasemia merupakan prevalen yang sangat paralel dengan Plasmodium falciparum dulunya merupakan
endemik.7
Insiden anemia hemolitik autoimun
kira-kira 1 dari 80.000 populasi. Pada perempuan predominan terjadi tipe
idiopatik. Tipe sekunder terjadi peningkatan pada umur 45 tahun dimana variasi
idiopatik terjadi sepanjang hidup. 6,8
Kelainan hemolitik yang terpenting
dalam praktek pediatrik adalah eritroblastosis fetalis pada bayi baru lahir
yang disebabkan oleh trnsfer transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap
eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun. Eritroblastosis fetalis
disebut Hemolitik Disease of the Newborn
(HDN).9
PATOGENESIS
Proses hematopoesis pada embrio janin
terjadi diberbagai tempat, termasuk hati, limpa,timus,kelenjar getah bening,
dan sumsum tulang. Sejak lahir sepanjang sisa hidupnya terutama di sumsum dan
sebagian kecil di kelenjar getah bening. 10
Dalam keadaan normal, sel-sel darah
merah yang sudah tua difagositosis oleh sel-sel retikuloendotelial, dan
hemoglobin diuraikan menjadi komponen-komponen esensialnya. Besi yang didapat
dikembalikan ke transferin untuk pembentukan sel darah merah baru dan asam-asam
amino dari bagian globin molekul dikembalikan ke kompartemen asam amino umum.
Cincin protoporfirin pada heme diuraikan di jembatan alfa metana dan karbon
alfanya dikeluarkan sebagai karbon monoksida melalui ekspirasi. Tetrapirol yang
tersisa meninggalkan sel retikuloendotelial sebagai bilirubin indirek dan
menjadi hati, tempat zat ini terkonjugasi untuk ekskresi di empedu. Dui usus,
biliruin glukoronida diubah menjadi urobilinogen untuk eksresi di tinja dan
urin.2,3
Hemolisis dapat
terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Pada hemolisis intravaskuler,
destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Sel-sel darah merah
juga dapat mengalami hemolisis intravaskuler disertai pembebasan hemoglobin
dalam sirkulasi. Tetramer hemoglobin bebas tidak stabil dan cepat terurai
menjadi dimer alfa-beta, yang berikatan dengan haptoglobulin dan disingkarkan
oleh hati. Hemoglobin juga dapat teroksidasi menjadi methemoglobin dan terurai
menjadi gugus globin dan heme. Sampai pada tahap tertentu, heme bebas dapat
terikat oleh hemopeksin dan atau albumin untuk selanjutnya dibersihkan oleh
hepatosit. Kedua jalur ini membantu tubuh menghemat besi untuk menunjang
hematopoiesis. Apabila haptoglobin telah habis dipakai, maka dimer
hemoglobinyang tidak terikat akan di eksresikan oleh ginjal sebagai hemoglobin
bebas, methemoglobin, atau hemosiderin.2,11
Hemolisis yang
lebih sering adalah hemolisis ekstravaskuler. Pada hemolisis ekstravaskuler
destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel
eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.2
Sejumlah bahan dan
kelainan dengan kemampuan dapat merusak eritrosit yang dapat menyebabkan
destruksi prematur eritrosit. Di antara yang paling jelas telah di pastikan
adalah antibodi yang berikatan dengan anemia hemolitik. Ciri khas penyakit ini
adalah dengan uji Coombs direk positif, yang menunjukkan imunoglobulin atau
komponen komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Kelainan hemolitik
yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah penyakit hemolitik bayi baru
lahir( eritroblastosis fetalis) atau HDN yang disebabkan oleh transfer
transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia
hemolitik isoimun.2
Pada Hemolytic
Disease of the Newborn (HDN) sering terjadi ketika ibu dengan Rh(-) mempunyai
anak dari seorang pria yang memiliki Rh(+). Ketika Rh bayi (+) seperti ayahnya,
masalah dapat terjadi jika sel darah merah si bayi dengan Rh(+) sebagai benda
asing. Sistem imun ibu kemudian menyimpan antibodi tersebutketika benda asing
itu muncul kembali, bahkan pada saat kehamilan berikutnya. Sekarang Rh ibu
terpapar.9
Pada anemia
hemolitik autoimun, antibodi abnormal ditujukan kepada eritrosit, tetapi
mekanisme patogenesisnya belum jelas. Autoantibodi mungkin dihasilkan oleh
respon imun yang tidak serasi terhadap antigen eritrosit. Atau, agen infeksi
dapat dengan sesuatu cara mengubah membran eritrosit sehingga menjadi “asing”
atau antigenik terhadap hospes.2
DIAGNOSIS
Semua jenis anemia hemolitik ditandai dengan:
1. Peningkatan
laju destruksi sel darah merah
2. Peningkatan
kompensatorik eritropoiesis yang menyebabkan retikulositosis
3. Retensi
produk destruksi sel darah merah oleh tubuh termasuk zat besi.
Karena zat besi dihemat dan mudah di daur ulang, regenerasi
sel darah merah dapat mengimbangi hemolisis. Oleh karena itu, anemia ini hampir
selalu berkaitan dengan hiperplasia aritroid mencolok di dalam sumsum tulang
dan meningkatnya hitung retikulosit di darah tepi. Apabila anemia berat dapat
terjadi hematopoiesis ekstramedularis di limpa, hati, dan kelenjar getah
bening. Apapun mekanismenya, hemolisis intravaskuler bermanifestasi sebagai
hemoglobinemia, hemoglobinuria, jaundice dan hemosiderinuria. 1,10,12
Gejala umum penyakit ini disebabkan oleh
adanya penghancuran eritrosit dan keaktifan sumsum tulang untuk mengadakan
kompensasi terhadap penghancuran tersebut. Bergantung pada fungsi hepar, akibat
pengancuran eritrosit berlebihan itu dapat menyebabkan peninggian kdar
bilirubin atau tidak. Sumsum tulang dapt membentuk 6-8 kali lebih banyak
eritropoietik daripada biasa, sehingga dalam darah tepi dijumpai banyak sekali
eritrosit berinti, jumlah retikulosit meninggi, polikromasi. Bahkan sering
terjadi eritropoiesis ekstrameduler. Kekurangan bahan sebagai pembentuk seperti
vitamin, protein dan lain-lain atau adanya infeksi dapat menyebabkan gangguan
pada keseimbangan antara penghancuran dan pembentukan sistem eritropoietik,
sehingga keadaan ini dapat menimbulkan krisis aplastik.3
Limpa umumnya membesar karena organ ini menjadi tempat
penyimpanan eritrosit yang dihancurkan dan tempat pembuatan sel darah
ekstrameduler. Pada anemia hemolitik yang kronis terdapat kelainan tulang
rangka akibat hiperplasia sumsum tulang.3
Gejala
klinik
Salah satu dari tanda yang paling
sering di kaitkan dengan anemia adalah pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan
karena berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin dan vasokonstriksi
untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Dispneu,
nafas pendek dan cepat lelah waktu melakukan aktifitas jasmani merupakan
manifestasi berkurangnya pengirirman O2. Sakit kepala, pusing,
pingsan dan tinitus (telinga berdengung) dapat mencerminkan berkurangnya oksigenasi
pada sistem saraf pusat.5
Pemeriksaan
fisis
-
Tampak pucat dan ikterus
-
Tidak ditemukan perdarahan dan
limfadenopati
-
Dapat ditemukan hepatosplenomegali.1
Pemeriksaan penunjang
Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, DDR, hapusan darah
tepi, analisa Hb, Coombs test, tesfragilitas osmotik, urin rutin, feses
rutin,pemeriksaan enzim-enzim.1
PENATALAKSANAAN
Orang dengan anemia hemolitik yang ringan mungkin tidak membutuhkan
pengobatan khusus selama kondisinya tidak jelek. Seseorang dengan anemia hemolitik
berat biasanya membutuhkan pengobatan
berkelanjutan. Anemia hemolitik yang berat dapat menjadi fatal jika tidak
diobati dengan tepat.
Tujuan
pengobatan anemia hemolitik meliputi:
·
Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel
darah merah.
·
Meningkatkan jumlah sel darah merah
·
Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pengobatan tergantung pada tipe,
penyebab dan beratnya anemia hemolitik. Dokter mungkin mempertimbangkan umur,
kondisi kesehatan dan riwayat kesehatan.
Transfusi darah
Transfusi darah digunakan untuk mengobati anemia hemolitik berat.
Obat-obatan
Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik, khususnya
anemia hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti prednison dapat
menekan sistem imun atau membatasi kemampuannya untuk membentuk antibodi
terhadap sel darah merah.
Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan
obat lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin.
Jika ter jadi anemia sel sabit yang
berat maka diberikan hydroxiurea. Obat ini mempercepat pembentukan fetal
hemoglobin. Fetal hemoglobin membantu mencegah pembentukan sel sabit pada sel
darah merah.
Plasmapheresis
Plasmapheresis merupakan prosedur untuk menghilangkan antibodi dari
darah. Pengobatan ini mungkin membantu
jika pengobatan lain untuk anemia imun tidak bekerja.
Operasi
Beberapa oarang dengan anemia hemolitik mungkin memerlukan operasi untuk
mengangkat limpa.limpa pada orang normal yang sehat membantu melawan infeksi
dan menyaring sel darah yang telah tua dan menghancurkannya. Pembesaaran atau
penyakit pada limpa dapat menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari
jumlah yang normal sehingga menyebabkan anemia. Pengankatan limpa dapat
menghentikan atau menurunkan jumlah sel darah merah yang mengalami destruksi.
Transpalantasi stem sel darah dan sumsum tulang belakang
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang
tidak dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang
terbentuk dapat dihancurkan sebelum waktunya. Transplantasi darah dan sumsum
tulang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik
ini.transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat
dari donor.
Perubahan pola hidup
Jika seseorang menderita anemia hemolitik dengan antibodi reaktif
terhadap dingin, coab untuk hindari temperatur dingin. Seseorang yang lahir
dengan defisiensi G6PD harus menghindari hal yang dapat mencetuskan anemia
misalnya fava beans, naftalena, dan obat-obatan tertentu.13
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS.Anemia Hemolitik. Dalam: Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Hal 192-193
2.
Sudoyo,Aru
W dkk.Anemia Hemolitik Non Imun. Dalam:Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 4.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2009. Hal 622,653
3.
Staff
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Hematologi. Dalam: Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.1985.
4.
Koesoema,
A.A. Klasifikasi etiologi dan Aspek Laboratorik pada Anemia Hemolitik [Cited on
January 2011]. Available from http://usu.ac.id
5.
Price,
S.A., Wilson L.M. Gangguan Sel Darah Merah. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005
6.
Schumacher,
Harold R; Rock, William A; Stass, Sanford A. Handbook Hematologic Phatology.
New York: Marcel Dekker Inc;2000
8.
Wibowo,
Satrio. Tesis: Perbandingan Kadar Bilirubin Neonatus dengan dan tanpa
Defisiensi Glukosa-6-Phosphatase Dehydrogenase. [Cited on January 2012].
Available from http://eprints.undip.ac.id
9.
Children’s
Hospital of Pittsburgh of UPMC. Hemolytic Disease of Newborn [Cited on Desember
2012]. Available from http://www.chp.edu
10. Kumar, Vinay., Ramzi S. Cotran.,Stanley L.
Robbins.:alih bahasa dr. Brahm U.Pendit. Red Blood Cell and Bleeding Disorders.
Dalam: Robbins and Cortran Pathologic Basic of Disease Seventh edition.
Philadephia: Elsevier. 2005
11. Behrmann, Kliegman, Arvin. Anemia
Hemolitik.Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson Textbook of Pediatric edisi 15. EGC
12. What
is hemolytic anemia?.National
Heart Lung and Blood Institude. [cited on January 2012] Available from http://nhlbi.org
13. How
is Anemia Hemolytic Treated? National Heart Lung and Blood Institude. [cited on January 2012]
Available from http://nhlbi.org
1 komentar:
Oooo Gitu ya,,, :)
Posting Komentar